Golden Gate - yang selalu rusak kalo ada film monster Hollywood. |
Kaget, seneng tapi juga grogi. Silicon Valley, dulu cuma nonton di TV, sekarang kesana beneran. Sempet kepikiran juga kaya di serial CSI, klo ada apa2 di sana bisa kagak pulang beneran. Mengingat ini perjalanan terjauh yang akan saya tempuh.
Flashback dikit ke 2015, saya bergabung di Kulina sebagai graphic designer dan food photographer. Masih 5 orang saat itu, dan saya gak tau sama sekali apa itu startup. Banyak sekali pelajaran yang dapat selama 2 tahun lebih berproses bersama Kulina, dan saya juga tidak menyangka akan berjalan sejauh ini.
Penerbangan selama hampir 19 jam, transit di Tokyo selama 1 jam. Badan serasa gak karuan, jetlag karena ada 15 jam perbedaan waktu. Siang jadi malam, malam jadi siang. Diluar perkiraan yang hampir 2 minggu cuaca di SF hujan dan dingin, sampai di sana disambut langit yang cerah dan hawa yang tidak begitu dingin.
Launchpad Accelerator baru akan dibuka di hari Senin 29 Januari, kami tiba di SF hari sabtu 27 Januari, kesempatan….jalan2 dulu. Beruntung Casper (COO Kulina) dulu pernah tinggal di SF, dan Jessica (putri dari CSO Kulina) juga kerja di SF, jadi gak bakal kesasar di sini.
Selain soal teknologi karena banyak perusahaan digital lahir disini, San Francisco membawa pikiran saya langsung kembali ke Jogjakarta. Kota seni dan budaya, multi kultural, kota pendidikan, pariwisata dan heritage.
Port of San Francisco |
Pasar di dalam bangunan utama pelabuhan |
Trem klasik di Market Street |
Kembali ke Google Launchpad 29 Januari 2018, hari pertama dibuka dengan perkenalan dari semua perserta. Startup terpilih dari berbagai belahan dunia, dan mentor2 terbaik dari seluruh dunia. Merasa sangat beruntung bisa ada di program ini, sekaligus merasa sangat kecil (kaya remah2 tepung gorengan di pinggir nampan).
Hal pertama yang membuat terkesan adalah kultur kerja. Dalam penggalian ide atau penyelesaian masalah semua sudah terbiasa dan terlatih berpikir secara logis, menggunakan metode, data, riset, analisis, metric, test dan validasi. Semua terukur, bila ada kekeliruan pun bisa diantisipasi dengan cepat. Lebih cepat ketahuan salahnya lebih baik, perbaiki, move on, dan melaju kedepan dengan cepat. Ini pastinya juga diajarkan di kampus2 dalam negeri. Cuma kadang dimengerti hanya kulitnya saja, belum menjadi habit.
Setelah merenung, aku malah nguyu dewe. wkwkwk. Teringat ide2 dan solusi hebat, kalau di Jogja itu ketemu diobrolan Wedangan ng angkringan. Intuisi, imajinasi, ngalamun, asumsi dan opini, campur aroma tembakau, kopi, secang, teh atau wedang uwuh…..tiba2 mak cling, ide hebat itu datang dalam tawa bersama kawan2 sampai dini hari. Lanjut sarapan gudeg, njuk turu. Kalau belakangan ketahuan ada yang keliru, dengan santai dan kompak akan dijawab : RAPOPO. Hahahaha.
Mana yang lebih baik? keduanya bukan hal yang bisa dibandingkan. BEDA!
bersambung...
bersambung...
Comments